KACA MATA NURUL

HANIF UZWA HASANAH SUDIRMAN
(Murid Kelas VI SDN-ARRAHMAH
TAMALANREA)
Malam sunyi senyap, aku
tiba-tiba terjaga dari tidur. Aneh,
kenapa aku berada di kamar yang tidak kukenal.
Kukucek-kucek mataku sekali lagi, masih aneh. Oh, kulihat ada Nurul disampingku, baru
teringat aku sedang bermalam di rumah sepupuku.
Mumpung libur, mau pergi rekreasi sebenarnya, tapi kata mama tunggu dulu
cuaca cukup mendukung. Tiap hari memang
hujan selalu mengguyur Makassar, aduh sedih juga rasanya bosan di rumah
terus. Makanya begitu tanteku datang
sama sepupuku Nurul, lalu aku diajak bermalam dirumahnya, aku langsung senang
sekali. Mama yang biasanya selalu
cerewet kalau minta izin pergi main di rumah teman, setuju saja aku ikut tante
ke rumahnya. Mungkin mama kasian liat
aku kesepian di rumah di hari libur.
Apalagi aku anak bungsu, perempuan pula kakakku semua laki-laki yang
sudah tidak bisa diajak main. Kak Adi
dan Kak Ari sudah mahasiswa, sedang kak Ical lebih senang sibuk sendiri dengan
lap-topnya.
Sebenarnya dengan sepupuku
Nurul, aku tak begitu suka, soalnya dia itu banyak maunya kalau bermain
bersama, agak sombong dan sok ngatur, juga sangat pelupa. Biasanya diawal bertemu, karena kami memang
jarang bertemu dia baik sekali, menyenangkan, tapi kalau sudah lama baru bikin
ulah. Umur Nurul satu tahun lebih mudah
dariku, jadinya aku satu kelas lebih tinggi dari dia.
Saat bunyi azan subuh di
masjid, aku telah bangun. Ternyata
menginap di rumah orang lain tanpa mama, susah juga tidur, gelisah dan tidak
nyenyak. Baru semalam di rumah tante
rasanya sudah satu minggu, membosankan, mau pulang saja. Aku cepat-cepat ke kamar mandi wuduk dan
sholat subuh. Kalau di rumah sendiri aku
susah sekali bangun. Nurul kemudian ikut
bangun dan aku mau jalan pagi tapi lupa bawa sepatu, mau pinjam sepatu Nurul
tapi tidak boleh dipinjam. Pelit sekali
kataku dalam hati. Akhirnya setelah
mandi dan sarapan kamipun bermain berby, boneka cantik. Di atas tv aku tertarik dengan kacamata
merah, amat manis kalau dipakai. Aku
ingin mencobanya.
” Nur, kita main ibu guru ya ” Kataku pada Nurul
” Ya boleh, kita jadi guru dan berby-nya jadi murid” Nurul kemudian
menyusun berby bersandar pada dinding kamar.
” Aku boleh pake kaca mata itu ya ? Kita anggap aku ini ibu guru yang
matanya minus.” Kataku sambil menunjuk kacamata merah di atas lemari televisi.
” Ya, boleh” Nurul memberikan kaca mata itu padaku. Tapi baru beberapa saat kupakai, Nurul
memintanya kembali.
” Ca, minta kaca matanya ya? Mataku juga minus, jadi aku juga bu guru yang
pake kaca mata” Kata Nurul. Aku sudah
mulai jengkel, soalnya sebelum main aturannya Nurul tidak mata minus, kenapa
tiba-tiba dia juga mau minus. Memang
sih, itu kacamatanya. Tapi kan dia sudah
tiap hari memandangi kacamata itu atau juga memakai kacamata itu. Apa salahnya dia kasih pinjam aku hari ini
saja. Sebentar sore toh saya sudah mau
pulang ke rumahku.
“ Ya, ambil nih, tapi kamu khan tidak minus Nur” jawabku kesal
“ Aku juga minus kok, malah minusku lebih tinggi” Nurul membela diri
“ La, kalau minusmu lebih tinggi, berarti tidak cocok dong dengan kaca mata
ini” Jawabku juga berkilah
“ Anggap saja cocok” Jawab nurul tidak logis.
“ Ok deh, aku istirahat dulu, kamu lagi yang jadi bu guru” Jawabku mulai
kesal. Beberapa saat Nurul berbicara
dengan berby, rasanya aku ingin pulang cepat-cepat ke rumahku sendiri. Aku membayangkan kamarku dan bonekaku, aduh
baru terasa kamarku lebih menyenangkan.
Rupanya selama ini aku tak banyak bersyukur pada Allah, maafkan aku
mama, aku terlalu banyak meminta.
“ Pinjam lagi dong kacamatanya” pintaku pada Nurul
“ Kan .... masih kupake” jawabnya mengejek.
Akupun diam saja, dan mencoba permainan lainnya, menyusun balok membuat
bangunan dan menata sebuah kota yang indah.
Asyik juga, artinya Nurul main sendiri akupun main sendiri. Nurul tiba-tiba menangis keras, aku kaget
alang kepalang. Ternyata kacamatanya
jatuh dan pecah. Ya ampun, akupun dalam
hati berguman, makanya jadi orang jangan terlalu pelit. Tapi melihat Nurul menangis dengan sedih, aku
jadi ikut-ikutan sedih.
“ Jangan sedih dong Nur, kita jadi ikutan pingin nangis.” Kataku
menghiburnya, sambil mengusap rambutnya yang panjang. Bukannya Nurul berhenti menangis, malah
tangisnya makin menjadi-jadi. Aku jadi
salah tingkah, nanti mamanya datang dikiranya aku yang membuat dia
menangis. Ya Allah apa yang mesti
kuperbuat ya. Ngapain juga aku sebal
sama dia tadi ya, sekarang baru terasa kalau sepupuku ini sebenarnya sangat
mudah sedih.
“ Kacamata itu hadiah terakhir dari nenekku Ca. Waktu nenekku ke Singapura, dia membelikan
kacamata itu untukku, sebelum akhirnya nenek meninggal seminggu yang lalu. Kacamata itu sangat berarti untukku Ca, aku
tidak mau kacamata itu rusak, aku ingin mengenang nenek kalau kacamata itu
kupandangi atau saat aku pake.”
Aku jadi terpana, rupanya itu yang menyebabkan Nurul tak membolehkan aku
menyentuh kacamata itu. Kalau aku jadi dia, pasti aku juga merasakan hal yang
sama. Ya Allah mengapa aku berprasangka
buruk pada sepupuku sendiri. Memang
seminggu yang lalu neneknya, ibu dari bapaknya meninggal di tempat tidurnya
pada saat istirahat siang.
“ Maafkan aku ya Nur, aku tak menyangka kacamata itu hadiah dari
nenekmu. Masih bisa diperbaiki khan?
Kita lem saja ya, lalu biar disimpan di lemari tv lagi.” Aku kembali menghiburnya. Air mata Nurul terus mengalir deras, tapi
paling tidak dia cuma terisak. Kasian
benar sepupuku, dia memang sering kesepian karena kedua orangtuanya dokter yang
selalu sibuk. Ketika neneknya masih
hidup, dia sering dititip di rumah neneknya kalau ibu bapaknya lagi praktek
atau di rumah sakit. Pantas saja
kacamata itu sangat berarti baginya. Aku
mengambil lem plastik di laci dan aku lem kacamata yang pecah itu, untung
pecahnya hanya di bagian pinggir.
Jadinya kacamata itu menjadi seperti tak pecah lagi, namun aku diam-diam
memotret kacamata itu, aku berjanji akan membelikan kacamata yang persis sama
dengan pemberian neneknya untuk Nurul kalau aku ke Singapura. Mama papa mengajakku jalan-jalan ke negeri
singa itu bulan depan.
7
September 2009
0 comments:
Post a Comment