Catatan Untuk Annisa (Hanif Uswah Hasanah Sudirman)




Cermin

Catatan untuk Annisa


Hanif Uzwa Hasanah Sudirman
Murid SD Arrahmah Tamalanrea

16 Juni
            Cuaca teramat dingin, entah mengapa pagi ini angin bertiup kencang, daun-daun berguguran.  Kaca jendela di kelasku berderik-derik, debu di luar sana beterbangan.  Ibu guru menutup gorden jendela untuk mengalihkan perhatian murid kembali ke pelajaran, tidak terganggu dengan cuaca yang kurang bersahabat.  Sejak aku sekolah di SD ini, baru kali ini aku merasa sangat tegang, akan ada ujian matematika dan bahasa Inggeris, dan aku tak ada persiapan sama sekali.  Tadi malam kakak-kakakku yang semuanya laki-laki tiga orang itu mengajakku nonton bola di TV, piala dunia, sampai aku lupa akan ada ujian besoknya.  Annisa teman sebangkuku juga mengalami hal yang sama, dia tak siap, tapi dia cuek saja, sudah biasa dia mendapatkan angka merah, sehingga baginya angka merah atau  hitam sama saja.  Juga dia sudah biasa mendapatkan ejekan dari Clara dan Titin, teman sekelas kami yang paling sombong.
” Hei, teman-teman tau tidak, annisa itu tidak tau bahasa Indonesianya Sugar.  Pasti nilai bahasa Inggerisnya Nol.  Matematikanya nilainya tumben bagus ya dapat 75.  Tapi aku kan dapat 95.” Teriak Clara di depan kelas.
Annisa cuma diam, dan aku tahu Annisa sebenarnya sedih selalu dikerjai sama Clara.  Annisa temanku yang setiap malam harus membantu ibunya bikin kue untuk menghidupi keluarga mereka.  Ayahnya telah meninggal satu tahun yang lalu.  Sejak itu dia selalu mengantuk setiap kali belajar di kelas, sehingga kadang pelajaran tak dia perdulikan atau tak dia dengarkan.  PR-pun kadang tak dia kerjakan, dan aku menjadi kehilangan keceriaan seorang sahabat.
” Nilai Annisa bagus kok, aku saja cuma dapat matematika 60” hibur Tatik sama Annisa.
” Nggak usah peduli apa kata Clara Nis, yang penting semangat, ayo kita belajar lebih giat” Kataku sama Annisa saat jam istirahat.
” Hari ini angin kencang banget ya ? Aku khawatir kue ibuku tak laku Caca.” Annisa terlihat sangat gundah, merunduk hampir mengeluarkan air mata.  Aku Cuma terpaku, manakala itu terjadi pada diriku akupun pasti sedih. Kalau aku jadi Annisa pasti aku merasakan hal yang sama.
” Berdoa saja Nis, sekarang yang penting ayo kita belajar Bahasa Inggeris, satu jam lagi ujian, kita baca saja kisi-kisi yang diberikan ibu Amalia.” Kataku mengalihkan perhatian Annisa. 
Bel tanda masuk kemudian berbunyi.  Kring, kring, kring.  ”Semua anak-anak masuk ke kelas masing-masing” Kata bu Darla, kepala sekolah.
” iya bu” anak-anak kelas lima ibnu batutah berteriak ceria.  Aku, Annisa menuju ke bangku dengan hati berdebar-debar.  Ujian Bahasa Inggeris akan dimulai dan aku sangat takut tidak lulus.  Pasti kakak-kakakku meledekku kalau remedial.  Ibuku akan tertawa karena dia tau aku memang sangat malas belajar, ibu selalu bilang yang paling mudah untuk menidurkanku adalah kalau aku pegang buku.  Bapak akan marah, karena aku sudah dikursuskan khusus Bahasa Inggeris di LIA, tapi tetap saja masih remedial.  Annisa nampaknya sudah lebih siap.  Menurutku Annisa itu sebenarnya sangat luar biasa pintar, dia sangat cepat menghapal.  Kalau saja dia punya waktu banyak untuk belajar, pasti nilainya melebihi Clara yang sombong itu.
” Sekarang ujian Bahasa Inggeris, semua buku disimpan di laci, dan jawab dengan cepat, waktunya 30 menit” Kata ibu Amalia.
Aku sudah mulai mengerjakan soal, untung saya baca kisi-kisi, 80% ujian dari kisi-kisi.  Sayangnya aku sangat sulit menghafal sehingga tidak semua soal bisa kujawab dengan baik.  Aku sempat melirik Annisa di sampingku.  Kelihatannya dia sangat tenang dan dia menulis terus, aku yakin dia akan menjawab semua soal dengan mudah karena otaknya sangat cemerlang.  Titin kelihatannya sangat gelisah, dia cuma merapikan mejanya yang berantakan bekas guntingan kertas.  Clara juga nampaknya dahinya berkerut-kerut, mungkin dia tidak baca kisi-kisi, karena dia merasa sangat pintar bahasa Inggeris.
” Susah ya ujiannya? Aku paling dapat 60, yang penting jangan remedial.  Aku ingin tau nilai Annisa, kamu mungkin dapat nol ya?  Aku saja jawab soalnya mikir setengah mati” Kata Clara dan Titin.  Aku dan Annisa cuma diam.  Kami pulang ke rumah yang tidak terlalu jauh dari rumah dengan naik sepeda.  Annisa tinggal di ujung gang dan aku di sudut jalan.  Kami janjian besok ketemu di sekolah.  Ya Allah, mudah-mudahan Annisa besok datang ke sekolah lebih ceria, dia tidak lagi memikirkan jualan kue ibunya karena angin atau hujan, doaku dalam hati.  

18 Juni
Hari ini, cuaca cukup cerah.  Aku mengayuh sepedaku cukup kencang karena waktu bel tanda masuk tinggal 10 menit.  Rumahku memang dekat dari sekolah, jadi sering aku santai saja, meski ibuku sering mengomel karena dikiranya aku akan terlambat lagi.  Annisa sangat rajin, dia biasanya pagi-pagi sekali sudah ada di kelas membaca buku dan menghafal juz-amma.  Benar saja, pas sampai dan kuparkir sepedaku di halaman masjid depan sekolahku, bel berbunyi.  Aku sedikit kuatir, hari ini hasil ujian bahasa Inggeris kemarin mau dibagikan.
” Ah ... aku ingin melihat nilai Annisa, mulutku sudah gatal mau ketawa, Nis lihat dong nilainya” Kata Clara sama Titin hampir bersamaan.
” Ini.....liat saja.” kata Annisa senang karena nilainya 95.
” Apa .... nilaimu lebih tinggi dari aku ? Tidak mungkin”.  Kata Titin tidak percaya.
” Mungkin kamu nyontek ya, jujur saja ayo bilang, atau mungkin bu guru salah memberi nilai ?” Kata Clara marah.  Annisa berlari sedih, tapi dia ingat nasehat ibunya untuk selalu tegar menghadapi sesuatu. ” Aku tidak boleh sedih, yang dikatakan orang tidak perlu dipikirkan, kalau kita melakukan hal yang benar.” Annisa semangat lagi, sambil melap air matanya dia kembali ke kelasnya.
” Nis kenapa kamu sedih” tanyaku
” Ah tidak, aku cuma ngantuk” kata Annisa mencoba menghindari kesedihan. Aku tahu Annisa tidak ingin aku turut sedih dan marah pada Clara dan Titin.  Kami bermain lagi dan seolah kejadian yang menyedihkan terbang entah kemana.  Besok akan ujian sains, jadi kami harus menyiapkan diri belajar lebih baik.  Aku janjian sama Annisa untuk belajar lebih giat agar nilai kami lebih bagus sehingga Titin dan Clara tidak lagi berkelakuan sombong dan menyolok-nyolok.  ..........  



19 Juni
Benar saja, nilai ujian Bahasa Inggeris Annisa yang dibagikan ibu guru Amalia hari ini merupakan nilai tertinggi di kelas.  Aku juga senang, paling tidak aku tidak remedial.  Titin dan Clara rupanya harus remedial.  Dari tadi pagi mukanya murung, tak berani lagi mengolok Annisa. Annisa kelihatan senang, tapi dia juga sedih karena beberapa teman kami harus remedial. 
“ Selamat ya Annisa ?” ucapku memeluknya.
“ Terima kasih Caca, engkau sahabat sejatiku, selalu memberiku semangat” Kata Annisa berkaca-kaca.  Teman-teman lainnya juga mengucapkan selamat sama Annisa. 
Aku mendekati Titin dan Clara. 
“ Tin, Clara .......berbesarhatilah untuk ucapkan selamat pada Annisa, bukankah kita bisa bahagia kalau kita bisa bahagiakan orang lain? Itu yang diajarkan Bu Amalia, bukan ?
“ Tapi Ca, kami sudah banyak salah pada Annisa, apa dia mau maafkan kami ?
” Pastilah, Nisa kan hatinya emas, yakin deh, ayolah sama-sama ...!”
Dengan malu-malu Titin dan Clara mendekati Annisa.  
” Maaf ya Nis, selamat ya, kamu nilainya bagus sekali.  Mulai sekarang kita sahabatan ya!” Kami sekelas menari-nari sambil berteriak ” yes, yes, yes Allahu Akbar”.
           
                                                                                    Tamalanrea, September 2010
 Di muat di harian Fajar, September 2010

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Post a Comment