Lactobacillus
bulgaricus STRAIN ROPY SEBAGAI STARTER KULTUR
SUSU FERMENTASI
(Lactobacillus
bulgaricus ROPY STRAIN AS STARTER CULTURE OF FERMENTED MILK)
RATMAWATI MALAKA·
ABSTRAK
Lactobacillus bulgaricus secara luas digunakan dalam industri
susu fermentasi seperti yoghurt, keju dan krim disebabkan sifat-sifatnya yang
menguntungkan secara teknologi, nutrisi dan khususnya terhadap kesehatan. Pecahnya gel yang menyebabkan terjadinya
pengeluaran whey merupakan masalah pada pembuatan yoghurt. Untuk mengatasi masalah ini adalah dengan
menggunakan kultur yang bersifat ropy yaitu kultur yang menghasilkan slime
(lendir) yang dieksresikan ke dalam susu selama fase pertumbuhan eksponensial.
Kata Kunci : Lactobacillus bulgaricus, strain
ropy, susu fermentasi.
ABSTRACT
Lactobacillus bulgaricus have been widely used in dairy
industry for milk fermented manufacturing, e.g. yoghurt, cheese, cream; due to
beneficial characteristics in technology, nutritional, and especially on health
effect. Gel rupture is usually become a
problems in yoghurt manufacture, where cause whey syneresis. To solve the problems is used ropy culture;
that product slime is excreted to milk
medium during exponential growth phase.
Key
word : Lactobacillus bulgaricus,
ropy strain, milk fermented
PENDAHULUAN
Mikroorganisme
yang ada dalam susu fermentasi khususnya yoghurt pertama kali diobservasi oleh
Grigoroff tahun 1905. Metchnikoff tahun 1910 pertama kali mempopulerkan
teorinya tentang ingesti bakteri asam laktat yang dinamakan Bulgarian
bacillus (belakangan disebut Lactobacillus bulgaricus) yaitu adanya
bakteri ini dalam yoghurt menyebabkan penghambatan pertumbuhan organisme
putrefaktif dalam usus. Bakteri asam
laktat ini dapat bertahan dalam usus dan selanjutnya mempunyai peranan terapiotika. Oleh sebab itu bakteri ini kemudian dijadikan
sebagai salah satu bakteri starter kultur untuk susu fermentasi secara
komersial (Tamime dan Robinson, 1985).
Lactobacillus
bulgaricus secara luas digunakan dalam produksi produk susu fermentasi seperti
yoghurt, keju dan krim disebabkan sifat-sifatnya yang menguntungkan secara
teknologi, nutrisi dan khususnya terhadap kesehatan (Stanson et al.,
2001). Kultur yang memproduksi
eksopolisakarida (EPS) atau disebut juga
kultur ropy telah banyak digunakan sebagai starter susu fermentasi karena
meningkatkan kualitas produk yaitu meningkatkan viskositas dan mengurangi
sineresis (Teggatz dan Morris, 1990;) dan juga meningkatkan sifat rheologi,
tekstur dan cita rasa di lidah (Sikkema dan Oda, 1998; Hess, Roberts dan
Ziegler, 1997; Rawson dan Marshall, 1997); juga telah digunakan untuk
meningkatkan sifat fungsional keju Mozzarella dan yoghurt (Hassan et al.,
1996; Duboc and Mollet, 2001; Broatbent et al., 2001). Eksopolisakarida adalah nama umum untuk semua
bentuk polisakarida bakteri yang ditemukan di luar dinding sel bakteri atau
jamur (Malaka, 1997). Sedang yang dimaksud dengan ropy adalah sifat
bakteri yang bertendensi menghasilkan lendir (slime) (Broadbent et al.,
2003).
SUSU
FERMENTASI
Susu
fermentasi seperti yoghurt dan buttermilk berkultur adalah secara alami
identik dengan stadium pertama pembuatan curd atau keju lunak tanpa menggunakan
rennet. Dalam pembuatan susu fermentasi baik yoghurt maupun keju umumnya
digunakan starter Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus
bulgaricus. Walaupun semua starter
susu fermentasi, mentega, dan keju
secara fundamental dibuat dengan cara yang sama, tetapi proses pemanasan,
pendinginan, inokulai dan inkubasi digunakan suhu dan lama inkubasi yang
tertentu untuk tiap produk (Davis, 1991).
Strain ropy untuk Str. thermophilus dan L. bulgaricus
dapat menggunakan suhu inkubasi 43oC, tetapi akan memberikan hasil
dengan viskositas tinggi bila diinkubasi pada temperatur yang lebih rendah (30
– 32oC) dengan lama inkubasi yang lebih panjang (12 – 15 jam). Hal ini disebabkan temperatur yang rendah
akan menyebabkan pembentukan slime pada produk (Malaka dan Abustam,
2004).
Semua
produk susu fermentasi mengandung bakteri hidup, sehingga harus didinginkan
selama penyimpanan. Mikroorganisme akan
aktif berinteraksi secara intensif dengan lingkungannya dengan merubah komponen
medium menjadi produk metabolit. Jadi
komposisi kimia produk susu adalah sangat menentukan terhadap aktivitas
metabolit dari mikroorganisme dalam
menghasilkan metabolit. Variabel penting
adalah jumlah karbohidrat , derajat hidrolisis protein dan lipida susu. Hal ini sangat penting yang akan mempengaruhi
rasa dan flavor produk susu (Heller, 2001).
Flavor keju adalah suatu manifestasi interaksi yang kompleks antara
komponen aktif flavor volatil dan non-volatil.
Sejumlah bakteri asam laktat
(BAL) memproduksi flavor ini.
Pengaruh BAL adalah lebih dominan pada berbagai varietas keju karena
membatasi pertumbuhan flora sekunder (Olson, 1990).
Yoghurt
sebagai makanan fungsional dalam proses
pembuatannya dipengaruhi oleh sifat kimia medium antara lain oleh adanya
sodium, kalium, magnesium, kalsium, ferum dan seng (Nakazawa, Asano dan
Tokimura, 1990).
L. bulgaricus SEBAGAI STARTER KULTUR SUSU
FERMENTASI
Lactobacillus
bulgaricus sebagai
starter kultur susu fermentasi merupakan salah satu spesies dari kelompok
bakteri asam laktat. Bakteri asam laktat merupakan sekelompok bakteri yang
bersifat Gram positif. Pengelompokannya
juga berdasarkan morfologi, metabolit dan sifat-sifat fisiologinya. Deskripsi tentang bakteri ini adalah sifat
Gram positif, nonspora, berbentuk kokkus atau batang, dan memproduksi asam
laktat sebagai komponen utama setelah fermentasi karbohidrat. Beberapa kelompok BAL secara umum dibagi
menjadi genus Lactobacillus, Leuconostoc, Pediococcus dan Streptococcus
(Sneath et al., 1986).
Klasifikasi
bakteri asam laktat menjadi genus yang berbeda secara garis besar didasarkan
pada morfologi, sifat fermentasi
glukosa, tumbuh pada temperatur yang
berbeda-beda, konfigurasi asam laktat yang diproduksi, kemampuan tumbuh pada
konsentrasi garam tinggi, dan toleransi terhadap asam atau alkali. Menurut Sharpe (1982), karakteristik
untuk klasifikasi BAL terdiri dari empat langkah yaitu:
- Penampakan mikroskopik menggunakan pewarnaan Gram
- Uji katalase
- Fermentasi karbohidrat
4.
Sifat
fermentasi (homofermentatif atau heterofermentatif) dengan mengukur asam
laktat, asam asetat atau alkohol.
Bakteri asam laktat tersebar
luas di alam, dan secara umum tidak ada yang terlalu istimewa dari bakteri ini,
kecuali bahwa bakteri ini sering mencemari makanan yang menyebabkan makanan
menjadi asam, terutama sering ditemukan pada industri susu dan industri bir
sehingga akhirnya dijadikan sebagai starter untuk fermentasi jenis makanan ini
(Radler, 1975). Lactobacillus bulgaricus sering ditemukan pada produk susu,
daging dan ikan; air, limbah, bir, anggur, buah-buahan, jus buah-buahan,
sayuran fermentasi, acar, silase, adonan roti asam, dan bubur. Bakteri ini
merupakan bagian normal flora pada mulut, traktus intestinal dan vagina hewan
homothermik termasuk manusia (Sneath et al., 1986).
Lactobacillus bulgaricus adalah bakteri berbentuk batang,
berantai, tidak berspora, tidak berflagel, Gram positif, bergranulasi dengan
pewarnaan methylen blue, bersifat homofermentatif yaitu produk akhir dari
metabolisme karbohidrat adalah asam laktat, mikroaerofilik, tidak mencerna
kasein, tidak memproduksi indol dan H2S, tidak memproduksi enzim
katalase, kadang-kadang memproduksi pigmen kuning sampai orange dan tidak
patogen (Sneath et al., 1986). Dengan menggunakan elektron mikroskop,
dinding sel Lactobacillus mengandung peptidoglikan, juga mengandung
polisakarida yang melekat pada peptidoglikan dengan ikatan fosfodiester. Lactobacillus delbrueckii subsp. bulgaricus
strain pembentuk lendir (slime) umumnya ditemukan pada susu asam. Komposisi asam amino bakteri dari genus Lactobacillus
terdiri dari lisin, aspartat, glutamat dan alanin, kecuali pada L. plantarum
tidak mengandung aspartat dan lisin tetapi digantikan oleh asam diaminopimelat
(Williams, 1982).
Nutrisi
yang dibutuhkan oleh Lactobacillus adalah asam amino, peptida, derivat
asam nukleat, vitamin, garam, asam lemak atau ester asam lemak dan karbohidrat
yang terfermentasi. Kondisi optimum
pertumbuhan L. bulgaricus adalah antara 30 – 40oC,
dengan pH optimal antara 5,5 – 6,2 tetapi tumbuh pada pH 5 atau kurang, dan
laju pertumbuhan berkurang pada pH netral atau alkali (Sneath et al,
1986).
Berdasarkan
penelitian Malaka et al. (2003); Lactobacillus bulgaricus strain
ropy pada media Susu Skim Agar (SSA) memperlihatkan koloni dengan figmen
berwarna kuning bila medium yang mengandung koloni tersebut disimpan pada suhu
refrigerator dalam jangka waktu yng cukup lama.
Koloni ini mempunyai ukuran antara 2 – 5 mm, pinggir rata, konveks,
permukaan halus, opaq, berlendir.
Bakteri ini mempunyai panjang rata-rata 3 – 4 μ, lurus, uniform, dengan
ujung bundar dengan penampakan penuh dan gemuk.
Berdasarkan
kemampuan fermentasi gula, bakteri asam laktat dibagi menjadi dua kelompok
yaitu BAL homofermentatif dan heterofermentatif. Homofermentatif artinya dalam jalur glikolisis menghasilkan hanya
berupa asam laktat, sebaliknya heterofermentatif artinya disamping menghasilkan
asam laktat, juga menghasilkan produk lain seperti asam asetat, alkohol, dan CO2 (Radler, 1975). L. bulgaricus mempunyai DNA yang spesifik (Lick et al.,
1996).
PEMANFAATAN
ROPY KULTUR PADA SUSU FERMENTASI
Bakteri asam laktat pertama kali
ditemukan oleh Pasteur tahun 1897. Pada
saat itu secara tidak sengaja Pasteur mengamati bahwa bir yang dihasilkan
menjadi asam.
Saat
ini bakteri asam laktat secara luas telah dimanfaatkan sebagai kultur starter
untuk yoghurt dan mempunyai fungsi yang menguntungkan sebagai berikut :
1.
Fungsi dari bakteri hidup yaitu membantu dalam mengeliminasi bakteri -
bakteri yang berbahaya dalam usus.
2.
Fungsi
dari metabolitnya, yaitu asam laktat dan EPS yang dapat meningkatkan daya
cerna, penyerapan dan menekan bakteri pembusuk dalam usus.
- Fungsi dari hasil sel oleh produksi EPS, yaitu merangsang daya kekebalan manusia dan mencegah dari serangan infeksi dan kanker.
- Meningkatkan cita rasa, aroma dan meningkatkan daya awet makanan (Mitsuoka, 1998).
|
|
Gambar 1. Lactobacillus bulgaricus ; A. Strain ropy B. Strain non-ropy (pembesaran 6000 x, pewarnaan menggunakan
emas) (Schellhaass and Morris, 1985).
Pada Gambar 1 dengan menggunakan scanning electrone microscope
dapat dilihat bahwa strain ropy
menghasilkan untaian-untaian seperti benang di sekeling sel, sedang pada strain
non-ropy permukaannya bergranula tanpa adanya untaian benang.
Produk
susu fermentasi seperti yogurt, kefir, buttermilk, krim asam berkultur,
koumiss, pada kelompok masyarakat tertentu atau etnik tertentu direkomendasikan
sebagai makanan terapiutik atau bernilai propilaktik terutama untuk pengobatan
pada kelainan pencernaan. Yang sering
menjadi masalah pada pembuatan yoghurt adalah pecahnya gel sehingga menyebabkan
terjadinya pengeluaran whey. Pendekatan
untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menggunakan kultur yang bersifat ropy
(Garcia-Garibay dan Marshall, 1991). Pada kultur susu, bakteri starter yang
bersifat ropy yaitu yang menghasilkan lendir sangat baik untuk pembuatan susu
fermentasi. Hal ini disebabkan strain
tersebut bersifat sebagai stabilizer yang mencegah terjadinya sineresis
sehingga tekstur produk menjadi sangat halus (Cerning et al.,
1992). Produk susu fermentasi dengan komposisi 60-70% kultur ropy dan
30-40% non ropy akan memhasilkan produk yang kualitasnya bagus (Macura dan
Towsley, 1984). Penggunaan kultur L. bulgaricus ropy pada yoghurt dapat
meningkatkan viskositas (Teggats dan Morris, 1990), mengurangi kerentanan untuk
terjadinya sineresis (Schellhaass dan
Morris,1985). Penggunaan kultur ropy
dalam pembuatan yoghurt juga menyebabkan tekstur menjadi lebih halus dan
memberikan cita rasa yang spesifik di lidah (Malaka, 1997).
Dengan pengamatan
mikrostruktur melalui scanning elektron mikroskop menunjukkan bahwa ropy kultur
membentuk suatu filamen-filamen yang menghubungkan antara tiap molekul kasein,
sehingga tekstur yoghurt menjadi lebih kompak dengan sifat rheologi yang lebih
baik (Skriver et al., 1995; Malaka dan baco, 2000). L. bulgaricus strain ropy membentuk
mikrokoloni yang sangat panjang dengan diameter koloni yang cukup lebar dimana
panjang koloni tidak kurang dari 60 μ
dan diameter 6 μ (Bottazzi dan Bianchi,
1986).
Kultur
ropy menyebabkan peningkatan konsistensi produk susu fermentasi disebabkan
pembentukan slime yang dieksresikan ke dalam susu selama fase
pertumbuhan eksponensial. Lendir (slime)
ini berfungsi sebagai “food stabilizer” yang mencegah terjadinya
sineresis dan pembentukan granula sehingga produk menjadi mengental secara
alami (Macura dan Townsley, 1984).
Kasein misel dalam susu mulai bertautan pada saat pH susu mencapai 5,5
yang disebabkan produksi asam laktat oleh bakteri kultur tersebut (Harwalkar and Kalab, 1986). Lendir yang dihasilkan bakteri asam laktat
secara umum disebut “exocellular polysaccharides” , yang memperlihatkan
tendensi penggunaan strain yang berbeda, media pertumbuhan yang berbeda serta
prosedur isolasi dan purifikasi yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda
dari satu peneliti dengan peneliti lainnya (Cerning et al., 1990).
PENUTUP
Penggunaan
kultur ropy dari Lactobacillus bulgaricus pada pembuatan susu
fermentasi sangat membantu mengatasi
masalah penurunan kualitas seperti terjadinya sineresis, pecahnya gel terutama
selama penyimpanan dan transfortasi produk.
Akhir-akhir ini strain ropy (strain pembentuk lendir) bakteri asam laktat
yang digunakan untuk starter susu fermentasi menjadi obyek penelitian yang
menarik karena kemampuannya menghasilkan ekspolisakarida (EPS). Dimasa depan penggunaan EPS sebagai bahan
makanan tambahan, maupun sebagai sumber obat-obatan akan mempunyai prospek yang
menarik untuk dikaji lebih mendalam, disamping kemampuannya dalam mengatasi
masalah dalam industri susu fermentasi.
DAFTAR PUSTAKA
Bottazzi, V and F.
Bianchi. 1986. Types of microcolonies of lactic acid
bacteria, formation of void spaces and polysaccharides in yoghurt. Scienza E Tecnica Lattiero-Casearia 37 (4):
297 – 315.
Broadbent, J.R., D.J. McMahon, C.J. Oberg and D.L. Welker.
2001. Use of
exopolysaccharide-producing cultures to improve the functionality of low fat
cheese. Int. Dairy J. 11: 433-439.
Broadbent, J.R., D.J. McMahon, D.L. Welker, C.J. Oberg,
and S. Moineau. 2003. Biochemistry, genetics, and applications of
exopolysaccharide production in Streptococcus thermophilus : a
review. J. Dairy Science 86:
407-423. http://jds.fass.org/cgi/content/full/86/2/407. Diakses 10 September 2004.
Cerning, J., Ch. Bouillanne, M. Landon, and M.J.
Desmazeaud. 1990. Comparison of exocellular polysaccharide
production by thermophilic lactic acid bacteria. Sciences des Aliments, 10: 443 – 451.
Cerning, J., Ch. Bouillanne, M. Landon, and M.J.
Desmazeaud. 1992. Isolation and characterization of
exopolysaccharides from slime-forming mesohilic lactic acid bacteria. J. Dairy Science, 75: 692 – 699.
Davis, J.G. 1991.
The microbiology of yoghourt.
Dairy Inds 36 : 245 – 263.
Duboc, P., and B. Mollet.
2001. Applications of
exopolysaccharides in the dairy industry.
Neth. Milk Dairy J. 11: 759 – 768.
Garcia-Garibay, M and V.M.E. Marshall. 1991.
Polymer production by Lactobacillus delbrueckii spp. bulgaricus. J. of Applied Bacteriology 70: 325 – 328.
Harwalkar, V.R. and M. Kalab. 1986.
Relationship between microstructure and susceptibility to syneresis in
yoghurt made from reconstituted nonfat dry milk. Food Microstructure 5 : 287 – 294.
Hassan, A.N., J.F. Frank, K.A. Schmidt, and S.I.
Shalabi. 1996. Rheological properties of yogurt made with
encapsulated nonropy lactic cultures. J.
Dairy Sci. 79: 2091 - 2097.
Heller, K.J.
2001. Probiotic bacteria in
fermented foods: product characteristics and starter organisms. Am. J. Clin Nutr., 73 : 374S – 379S.
Hess, S.J., R.F. Robert, and G. R. Ziegler. 1997.
Rheological properties on nonfat yoghurt stabilized using Lactobacillus
delbrueckii ssp. bulgaricus producing exopolysaccharide or using
commercial stabilizer systems. Journal
of Dairy Science, 80 : 252 – 263.
Lick, S., M. Keller, W. Bockelmann and K.J. Heller. 1996.
Optimized DNA extraction method for starter cultures from yoghurt. Milchwissenschaft 51 (4): 183 – 185.
Macura, D and P.M. Townsley. 1984.
Scandinavian ropy milk – identification and characterization of
endogenous ropy lactic Streptococci and their extracellular excretion. J. Dairy Sci. 67: 735 – 744.
Malaka, R.
1997. Effect of curdlan, a
bacteria polysaccharide on the physical properties and microstructure of acid
milk curd by lactic acid fermentation.
Master Thesis. Faculty of Agriculture, Miyazaki University. Japan.
Malaka, R and S. Baco.
2000. Rheological properties and microstructure
of acid milk curd by curdlan addition, a polysaccharide from bacteria. BIPP VI (1) : 121 – 135.
Malaka, R., L. Muslimin, E. Abustam. 2003.
Produksi Eksopolisakarida Laktobacillus bulgaricus dan
pemanfaatannya pada produk pangan.
Laporan Penelitian Hibah Bersaing. DIKTI. Jakarta.
Malaka, R and E. Abustam.
2004. Effect of incubation
condition on the growth characteristics and exopolysaccharide production by
ropy Lactobacillus delbrueckii subsp. bulgaricus. Buletin Penelitian Seri Hayati 7 (2): 105 –
109.
Mitsuoka, T.
1998. Bacteria for Better Health
Lactic Acid Bacteria. Yakult Honsha Co,
Ltd. Tokyo.
Nakazawa, Y, J. Asano, and A. Tokimura. 1990.
Manufacture and chemical properties of low sodium yoghurt. Milchwissenschaft 45 (2): 88 – 91.
Olson, N.F.
1990. The impact of lactic acid
bacteria on cheese flavor. FEMS
Microbiology Reviews 87: 131 – 148.
Radler, F.
1975. The Metabolism of Organic
Acids by Lactic Acid Bacteria. Lactic
Acid Bacteria in Beverages and Food.
Fourth Long Ashton Symposium.
Academic Press. London.
Rawson, H.L. and V.M. Marshall. 1997.
Effect of ropy strains of Lactobacillus delbrueckii ssp. bulgaricus
and Streptococcus thermophylus on rheology of stirred yoghurt. International Journal of Food Science and
Technology 32 : 213 – 220.
Schellhaass, S.M. and H.A. Morris. 1985.
Rheological and scanning electron microscopic examination of skim milk
gels obtained by fermenting with ropy and non-ropy strains of lactic acid
bacteria. Food Microstructure 4 : 279 –
287.
Sharpe, M.E.
1982. Identification of the
lactic acid bacteria. Research in
Dairying : 233 – 259.
Sikkema, J. and T. Oda.
1998. Ekstracellular
polysaccharides of lactic of lactic acid bacteria. Snow Brand R and D Reports 107 : 1 – 31.
Stanton, C., G. Gardiner, H. Meehan, K. Collins, G.
Fitzgerald, P.B. Lynch, R.P. Ross.
2001. Market potensial for
probiotics. Am.J.Clin. Nutr. 73: 476S –
483S.
Skriver, A., W. Buchheim and K.B. Qvist. 1995.
Electron microscopy of stirred yoghurt: ability of three techniques to
visualize exo-polysaccharides from ropy strains. Michwissenshaft 50 (12): 683 – 686.
Sneath, P.H.A, N.S. Mair, M.E. Sharpe, J.G. Holt. 1986.
Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology. Vol 2. Williams and Wilkins. Baltimore.
Tamime, A.Y. and R. K. Robinson. 1985.
Yoghurt, Science and Technology.
Pergamon Press. New York.
Teggatz, J.A. and H.A. Morris. 1990.
Changes in the rheology and microstructure of ropy yoghurt during
shearing. Food Structure, 9 : 113 – 138.
Williams, R.A.D.
1982. A review of biochemical
techniques in the classification of Lactobacilli. Biochemistry : 351 – 367.
· Staf pengajar
Fakultas Peternakan, Jurusan Produksi Ternak, Lab. Teknologi Hasail ternak,
Universitas Hasanuddin, Makassar
Diterbitkan pada BIPP IX (2): 120-129 (2005)
0 comments:
Post a Comment